Suasana di Ankara sore itu memang terasa hangat, bukan hanya karena matahari musim semi yang ramah, tapi juga karena hangatnya sambutan Turki pada Menteri Pertahanan Indonesia yang kini menjadi Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Dalam pidatonya, Prabowo menyampaikan kekaguman pada Mustafa Kemal Atatürk, sosok yang disebutnya sebagai “visioner, revolusioner, dan pendiri republik modern.”
Kalimat-kalimat itu disambut tepuk tangan hangat dari pejabat Turki, dan tentu liputan media.
Apakah kita benar-benar mengagumi seorang tokoh yang menghapus khilafah, mengganti hukum Allah dengan hukum barat, bahkan menghapus adzan dan jilbab dari ruang publik?
Apakah “kekaguman” kita berasal dari pemahaman sejarah yang utuh, atau hanya dari catatan barat yang mendewakan modernitas, tapi melupakan akar spiritualitas?
Turki memang unik, karena ia berdiri di antara dua kutub besar sejarah :Mustafa Kemal Atatürk dan Recep Tayyip Erdoğan.
Yang satu memutus masa lalu, yang satu mencoba menjahitnya kembali.
Yang satu menara jam, yang satu minaret masjid.
Menurut Seorang Netizen yang pernah mencium angin Bosphorus, melihat Hagia Sophia dari dekat, dan shalat di Masjid Sultan Ahmed, ia mengajak kita semua untuk merenung:
Modern bukan berarti menanggalkan iman, dan maju bukan berarti mencabut akar.
Dan itulah yang menjadikan Turki begitu kompleks. Karena sejarahnya adalah tarik ulur atara dua kutub besar: Mustafa Kemal Atatürk dan Recep Tayyip Erdoğan.
Mustafa Kemal Atatürk adalah tokoh militer yang bangkit di tengah keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah. Ia melihat barat sebagai cahaya peradaban, dan memilih jalur radikal untuk memodernisasi Turki:
• Menghapus khilafah (1924),
• Mengganti huruf Arab dengan Latin,
• Menghapus syariat dari konstitusi,
• Bahkan melarang adzan dalam bahasa Arab dan menutup ribuan madrasah.
Ia membangun “republik” tapi meninggalkan ruh. Ia mendirikan sekolah, tapi mencabut sanad ilmu. Ia bangga dengan kemajuan, tapi abai pada kemuliaan warisan Islam.
Dan umat Islam Turki? Terpaksa menunduk.
Bertahan dalam sunyi. Menyembunyikan jilbab dan bacaan Qur’an di ruang bawah tanah. Itulah harga dari “modernisasi” ala Atatürk.
Tapi sejarah tidak pernah diam.
Tahun 2003, muncul pemimpin baru: Recep Tayyip Erdoğan.
Bukan dari kalangan militer, tapi dari rahim rakyat kecil.
Bukan pewaris sekulerisme, tapi penjahit warisan keimanan.
Erdogan membuka kembali pintu-pintu yang ditutup Atatürk.
• Mengembalikan jilbab ke sekolah,
• Mengizinkan adzan dalam bahasa Arab,
• Mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid,
• Menghidupkan kembali identitas Islam yang selama puluhan tahun ditekan.
Namun Erdogan tidak menolak kemajuan. Ia membangun Turki dengan teknologi, ekonomi, dan diplomasi global. Tapi bedanya: ia tidak meninggalkan Allah di balik itu semua.
Itulah dua wajah Turki. penting untuk menyampaikan ini, agar kita tidak asal memuji tanpa memahami makna.
Karena tidak semua yang “terlihat hebat” di mata dunia, benar-benar mulia di mata Allah.
Modern itu penting, tapi iman itu pondasi. Jangan sampai kita berdiri tinggi di dunia, tapi roboh di akhirat.
Menyusuri jejak-jejak kekhalifahan, dari Topkapi Palace yang megah, Blue Mosque yang menawan, hingga Hagia Sophia yang membisu tapi menyimpan kisah besar antara Islam dan Barat.
Masjid Süleymaniye dibangun oleh Mimar Sinan, arsitek jenius era Sultan Sulaiman al-Qanuni pada abad ke-16.
Bukan hanya indah dan megah, tapi mencerminkan kecanggihan ilmu teknik, astronomi, dan akustik pada zamannya. Umma langsung teringat satu kalimat:
“Islam tidak pernah anti kemajuan. Islam hanya menolak peradaban yang melupakan Tuhan.”
— Buya Hamka
Mereka bercerita bagaimana Erdogan mengembalikan identitas Islam perlahan, meski bukan tanpa perlawanan.
Masih banyak warga Turki yang melihat sholat 5 waktu sebagai sesuatu yang “terlalu agamis.”
Jilbab pun dulunya sempat menjadi alasan ditolaknya perempuan untuk bekerja di ranah publik.
Tapi di tengah derasnya sekularisme warisan Atatürk, Erdogan membuka kembali pintu-pintu itu, meski hanya celah, namun cukup untuk menghidupkan semangat ummat.
Dan Umma menyaksikan sendiri, betapa berat perjuangan itu. Bukan sekadar keputusan politik, tapi pertarungan ideologi yang dalam.
Itulah kenapa, ketika ada pemimpin Indonesia yang memuji sosok Atatürk secara terbuka, agak sedikit gimana.
Bukan karena benci, tapi karena sejarah tak bisa dibaca setengah bab.
Atatürk adalah reformis, iya. Tapi caranya menyakiti ruh Islam yang selama berabad-abad menjadi pelita bangsa.
Erdogan bukan tanpa kekurangan, tapi setidaknya ia tidak membuang Allah dari panggung utama.
Kutipan indah dari Syaikh Abul Hasan an-Nadwi:
“Umat ini tidak akan pernah mulia dengan sesuatu selain yang dulu membuatnya mulia.”
Kemajuan bukan sekadar gedung tinggi atau ekonomi kuat. Tapi ketika Allah kembali dihadirkan dalam kehidupan publik, di masjid, di sekolah, di istana.
Turki pernah jatuh karena melupakan ruh. Dan bangkit karena ruh itu mulai dipanggil kembali. Semoga Indonesia belajar.
Penulis : Uma Ana Mahnan