Sejarah Dan Demografi Masyarakat Di Kepulauan Togean

Sejarah Masyarakat Kepulauan Togean

Seperti protes penduduk Walea Kepulauan atau pendapat dari anggota komunitas adat Togean di atas, kata ‘Togean’ memang kadang menjadi perdebatan bagi beberapa orang di Kepulauan Togean. Penduduk kadang memaknai kata ‘Togean’ sebagai nama salah satu pulau atau suku yang mendiami Kepulauan tersebut. Dalam keseharian penduduk lebih sering mengidentifikasi diri mereka sebagai ‘orang pulo’ atau sebutan lain berdasarkan nama desa maupun kecamatan, misalnya orang Walea (Kepulauan), orang Una-Una, orang Wakai, orang Kabalutan dan sebagainya, bukan ‘orang Kepulauan Togean’ apalagi orang ‘Togean’ untuk merujuk pada diri atau tempat tinggal mereka. Tapi dalam situasi tertentu, penamaan seperti itu digunakan juga apabila kata ‘Kepulauan Togean’ atau ‘Togean’ dianggap relevan dalam interaksi sosial mereka, atau tergantung persepsi mereka terhadap lawan bicaranya.

Adanya dinamika dan keberlanjutan dari  proses-proses membangun identitas sosial lewat konstruksi sejarah yang dilakukan untuk berbagai kepentingan, hal ini tidak bisa diabaikan. Sekelompok orang, baik dalam pengertian suku maupun desa, memiliki versi yang berbeda tentang sejarah atau asal-usul mereka di Kepulauan Togean. Sebuah buku sejarah lokal paling komperhensif tentang Tojo Una-Una, di mana Kepulauan Togean termasuk di dalamnya, secara resmi telah diterbitkan oleh pemerintah Kabupaten Touna lewat proyek dokumentasi sejarah pemekaran yang dilakukan sebuah tim dari Universitas Tadulako, Palu, maka jadilah Kecamatan Kepulauan Togian.

Buku ini menyebutkan bahwa penyebab terjadinya perbedaan tuturan sejarah (lisan) di dalam masyarakat Kepulauan Togean disebabkan oleh faktor alam yang berbeda, letak geografis wilayah yang berjauhan dan perkembangan cerita yang bersifat kontinyu sehingga terjadi pembiasan (Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006:97). Bentang alam telah dianggap sebagai faktor determinan terhadap proses penuturan sejarah dan pembentukan pengetahuan yang berbeda-beda tentang sejarah masyarakat di Kepulauan Togean. Pada saat diseminarkan, beberapa orang Kepulauan Togean yang hadir, sempat menyampaikan protes terhadap beberapa bagian buku tersebut. Terutama terkait dengan sejarah suku-suku yang ada di Kepulauan Togean, seperti Bajo, Saluan, Bobongko, dan suku Togean itu sendiri.

Perbedaan kisah sejarah (lisan) antara satu suku dengan suku lainnya memang terjadi di Kepulauan Togean, setidaknya yang cukup menonjol adalah antara suku Bobongko dengan suku Togean, mereka masih memperdebatkan siapa di antara kedua-nya yang lebih dulu ada di Kepulauan Togean itu, sehingga mereka dapat menarik batas dengan jelas antara siapa yang patut dianggap sebagai suku ‘asli’ dan siapa ‘pendatang’.

Demikian pula sebaliknya hal yang diutarakan oleh orang dari suku lain tentang sukunya sendiri. Tulisan-tulisan tentang identitas etnik di Kepulauan Togean juga cenderung mengarahkan pada penilaian tentang siapa yang lebih dulu mendiami Kepulauan ini. Sebuah makalah, berdasarkan ‘cerita rakyat’ yang dikumpulkan, secara meyakinkan menyebut suku Bobongko dan Bajo sebagai suku tertua dan yang pertama kali mendiami Kepulauan Togean (Darnaedi, 1996). Sumber lain menyebutkan bahwa suku Togean yang mendiami Desa Benteng adalah penduduk pertama yang ada di Kepulauan Togean (Hasan, dkk., 2006; Kani, 2002).

Di sisi lain, sebuah laporan perjalanan ditulis oleh Van der Wal yang mengunjungi Kepulauan Togean tahun 1680-an menyebutkan bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang Bobongko yang mendiami Teluk Kilat bagian selatan Pulau Togean. Sementara tahun 1865, hampir dua ratus tahun setelah Van der Wal, penguasa Gorontalo, C.B.H. von Rosenburg, menuliskan keberadaan orang-orang Bugis atau Sama (Bajo) di kaki Gunung Benteng. Menurutnya, orang-orang Bugis itulah yang memukul mundur orang-orang Bobongko, yang disebutnya sebagai ‘penduduk asli’ hingga jauh ke dalam hutan di Pulau Togean (dalam Lowe, 2006: 88-89).

Catatan lain tentang keberadaan suku-suku di Kepulauan Togean juga pernah ditulis oleh seorang peneliti linguistik asal Belanda, N. Adraini, yang pada tahun 1899 menulis The Language of the Togean Islands. Adriani sudah menyebutkan keberadaan orang-orang suku Bobongko, Saluan dan Togean. Dengan meneliti akar bahasa dari tiap suku, Adriani menarik asumsi-asumsi tentang kemungkinan asal-usul dari suku-suku tersebut. Dikatakan pula bahwa bahasa Bobongko memiliki akar dari bahasa Limbotto (kini masuk wilayah Propinsi Gorontalo), sehingga kemungkinan besar mereka adalah keturunan orang-orang Limbotto yang bermigrasi ke Kepulauan Togean pada tahun 1800-an.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top