Adriani juga menuliskan bahwa bahasa suku Togean menyerupai bahasa yang digunakan penduduk di Ampana yang dikenal dengan bahasa Ta’a. Sedangkan bahasa Saluan lebih menyerupai bahasa yang digunakan di wilayah Luwuk, kini ibukota Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Lowe, 1999: 19-20).
Khusus soal migrasi orang-orang Limbotto seperti yang disebutkan Adriani, sebuah tulisan sejarah lokal oleh J. Bastiaans tentang perjanjian antara kerajaan Limbotto dan kerajaan Gorontalo, mungkin memberi pandangan yang berbeda tentang hubungan antara Bobongko dengan Limbotto. Salah satu isi perjanjian dua kerajaan tersebut mengatur pembagian kekuasaan atas beberapa wilayah di Teluk Tomini.
Disebutkan bahwa Sausu (sekarang masuk wilayah Kabupaten Parigi Moutong) dan Tamalate masuk dalam wilayah kerajaan Gorontalo, sedangkan Pulau Togean dan Nyuala (Bastiaans tidak mengetahui letaknya) masuk ke dalam wilayah kekuasaan Limbotto (Bastiaans, 2005: 219).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghasilkan sebuah konstruksi sejarah yang pada akhirnya melahirkan sebuah ‘kebenaran’ bagi seseorang atau satu kelompok tertentu yang memiliki kepentingan atas sejarah tersebut. Tulisan ini hanya ingin meletakkan perbedaan-perbedaan dalam tuturan sejarah tentang orang-orang di Kepulauan Togean dalam konteks konstruksi identitas sosial mereka. Orang-orang dari suku Togean, Bajo, Bobongko atau Saluan mungkin belum menemukan versi lain yang lebih bervariasi tentang sejarah mereka, terutama yang ditulis oleh orang luar.
Akan tetapi, pengetahuan mereka tentang sejarah mereka sendiri pada situasi tertentu dapat menjadi bagian dalam mengartikulasikan identitas mereka, apalagi ketika hal itu memiliki relevansi untuk merespon sikap suku atau kelompok lain terhadap dirinya.
Ratusan tahun lalu orang-orang Bugis, Gorontalo, Ternate, Cina dan bangsa Melayu telah datang ke Kepulauan Togean dan melakukan transaksi-transaksi perdagangan hasil pertanian, hutan dan laut dengan para saudagar dan penduduk setempat. Orang-orang dari kerajaan Bugis, Ternate dan Gorontalo bahkan ikut berperan dalam membentuk struktur politik pemerintahan di Kepulauan Togean dan sekitarnya yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Touna (Kani 2002; Hasan, Nuraedah dan Lumangino, 2006).
Kepulauan Togean telah jadi bagian ‘kosmopilitik’ yang terbangun melalui sistem ekonomi kapitalisme global ketika itu. Banyak orang-orang yang kini memiliki posisi politik dan ekonomi di Touna adalah keturuan Bugis, Gorontalo atau Ternate.
Kopra-kopra dihasilkan dari Pulau Una-Una telah lebih dari satu abad lalu jadi komoditas penting dalam jaringan perdagangan antar pulau di Nusantara, terutama sejalan dengan berkembangnya pelabuhan Makassar ketika itu. Teluk Tomini telah menjadi jalur lintasan kapal pengangkut kopra milik Koninklijke Paketvaart Maatschapiij yang menghubungkan Makassar dengan pelabuhan besar lainnya, seperti: Gorontalo, Banggai, Ternate, dan Menado (Asba, 2007). Pulau Una-Una, pada jaman Hindia Belanda juga disebut sebagai Pulau Ringgit karena menjadi salah satu pusat transaksi pedagang hasil perkebunan, hutan dan laut di Kepulauan Togean dan sekitarnya (Kani, 2002).
Hingga kini, kopra masih menjadi sumber penghasilan penduduk yang utama dan memberi nilai bagi perekonomian regional tingkat Kabupaten, selain cokelat dan hasil laut. Kopra di Kecamatan Kepulauan Togian juga memasok kebutuhan bagi daerah lain dan pasar internasional. Salah satu pabrik pengolahan kopra milik perusahan minyak goreng Bimoli pernah dibangun di kota Ampana.
Sumberdaya alam di Kepulauan Togean, secara ekonomis, telah menarik kepentingan banyak suku dan bangsa untuk datang, menetap dan akhirnya membangun identitas sosial mereka di wilayah ini. Lalu, siapakah sesungguhnya yang disebut ‘orang pulo’ dalam konteks historis seperti ini?
Alam dan Penduduk Kepulauan Togean
Kepulauan Togean terletak di tengah Teluk Tomini, dalam posisi melintang dari barat ke arah timur. Ke sebelah selatan dan barat, terpisah dengan lautan dalam, sementara Kecamatan Kepulauan Togian berbatasan dengan daratan Pulau Sulawesi. Sedangkan ke arah utara, Kepulauan Togean berbatasan dengan daratan Sulawesi bagian dari wilayah Propinsi Gorontalo. Luas keseluruhan wilayah daratan Kepulauan Togean kurang lebih 755,4 Km2 atau sekitar 75.000 Ha.
Wujud spasial Kepulauan Togean merupakan rangkaian 7 pulau utama yang memanjang dari barat ke timur, yaitu Pulau Batudaka, Togean, Talatakoh, Una-Una, Malenge, Walea Kodi, dan Walea Bahi. Pulau-pulau tersebut dikelilingi oleh beberapa pulau yang lebih kecil, serta puluhan pulau karang (islets) tak berpenghuni yang lebih menyerupai batu menyembul dari dalam laut.
Di sebelah barat laut Pulau Una-Una, terpisah agak jauh dari kumpulan pulau-pulau lainnya, juga terdapat Gunung api Colo yang menjulang setinggi kurang lebih 500 meter. Sejak terakhir kali Gunung Colo meletus pada tahun 1983, pemerintah Kabupaten Poso saat itu menetapkan Pulau Una-Una sebagai daerah rawan bencana yang tertutup bagi pemukiman penduduk. Seluruh desa yang ada di sana dipindahkan ke desa-desa baru yang dibangun di Pulau Batudaka dan Pulau Togean. Meski status tersebut belum dicabut, penduduk desa-desa yang dulu menetap di sana masih mengunjungi pulau itu untuk mengolah kebun kelapa mereka. Bahkan, dalam 15 tahun terakhir, sebagian dari penduduk asal Una-una juga telah menempati kembali rumah-rumah mereka yang dulu ditinggalkan itu.