Setiap hari kapal-kapal motor berkapasitas hilir mudik mengangkut penumpang, hasil bumi, dan barang-barang kebutuhan lainnya antara Pulau Una-una dengan pelabuhan-pelabuhan lain, seperti Ampana, Wakai, Bomba, Kulinkinari dan Lebiti. Bahkan speedboat milik beberapa diving resort kadang mengantar sekelompok turis asing yang berminat menyelam di areal terumbu karang di sekeliling Pulau Una-una. Di pulau ini juga masih terlihat bekas aliran lahar yang membeku, bangunan Mesjid tertua di Kepulauan Togean, serta rumah-rumah penduduk yang masih kosong. Namun, aktivitas berkebun, berdagang, dan mencari hasil laut sudah dilakukan kembali oleh penduduk di sana.
Kepulauan Togean termasuk ke dalam wilayah administratif pemerintahan Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), sebagai hasil pemekaran Kabupaten Poso pada tahun 2003. Ampana adalah ibukota kabupaten yang sekaligus pula jadi kota pelabuhan terdekat dengan Kepulauan Togean. Dari Palu, ibukota Propinsi Sulawesi Tengah, Ampana dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh lebih dari 400 kilometer melintasi Kota Poso yang antara tahun 200 hingga 2002 dilanda konflik. Jarak antara Kota Ampana dengan pelabuhan Wakai, kota kecamatan dan pelabuhan di Togean yang terdekat dengan Ampana, kurang lebih 25 kilometer. Kedua kota ini hanya dapat dijangkau dengan transportasi laut selama kurang lebih 3 hingga 4 jam lamanya menggunakan kapal motor (KM), atau sekitar 1,5 hingga 2 jam, jika menggunakan speedboat atau perahu tempel berkekuatan 100 PK.
Penduduk Kepulauan Togean yang bermukim di bagian barat dan tengah kepulauan, seperti di Pulau Togean (termasuk orang-orang Bobongko di Teluk Kilat), Una-Una, Batudaka, Melenge, dan sebagian Talatakoh lebih sering berhubungan dengan penduduk di kota Ampana untuk aktivitas-aktivitas di luar urusan dengan pemerintah kabupaten. Namun banyak penduduk Kepulauan Togean yang berada di wilayah timur, seperti penduduk Pulau Walea Bahi dan Walea Kodi, serta bagian selatan Pulau Talatakoh (termasuk Desa Kabalutan) yang justru berhubungan dengan penduduk Gorontalo dan kota-kota wilayah Kabupaten Banggai, seperti Bunta dan Pagimana.
Ini disebabkan jarak antara Gorontalo, Bunta atau Pagimana dengan tempat tinggal mereka, dianggap lebih dekat dibandingkan ke Ampana. Dua kali dalam seminggu kapal feri milik PT. PELNI dan sebuah KM. Puspita milik swasta melayari jalur Ampana-Gorontalo. Keduanya singgah di pelabuhan-pelabuhan tertentu di Kepulauan Togean, seperti Wakai, Katupat, Malenge, Dolong, dan Pasokan. Selain penduduk setempat, para backpacker, wisatawan yang tidak terikat oleh agen perjalanan wisata, juga menggunakan kapal-kapal tersebut. Para wisatawan ini berdatangan untuk menikmati pemandangan bawah laut dan pantai-pantai berpasir di Kepulauan Togean.
Kondisi Sosial Ekonomi
Laporan sensus demografi yang dikeluarkan Kabupaten Touna menyebutkan bahwa pada tahun 2008 jumlah penduduk di empat Kecamatan di Kepulauan Togean kurang lebih 37.789 jiwa. Mereka tinggal menyebar di 42 desa yang ada dalam empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Una-Una yang meliputi penduduk di Pulau Batudaka dan Pulau Una-Una. Kecamatan Kepulauan Togian meliputi Pulau Togean dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Kecamatan Walea Kepulauan mencakup Pulau Talatakoh, Malenge dan Pulau Walea Kodi serta Kecamatan Walea Besar.
Sebagaimana umumnya informasi-informasi demografis, laporan statistik pemerintah Indonesia juga membagi identitas penduduk di Kepulauan Togean berdasarkan jenis pekerjaan mereka, yaitu petani, nelayan atau pekerjaan lainnya. Data Badan Pusat Statitik (BPS) Kabupaten tahun 2004, di Kepulauan Togean terdapat sekitar 1.760 kepala keluarga yang berprofesi sebagai nelayan dengan produksi hasil perikanan laut sebesar 523 ton.
Sedangkan berdasarkan catatan Kecamatan. Dalam Angka yang dikeluarkan Pemda Poso tahun 2000 menunjukkan jumlah petani (tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura) di Kepulauan Togean sekitar 2.231 kepala keluarga. Meski demikian, di Kecamatan Kepulauan Togian sesungguhnya sulit menunjukkan batasan yang tegas apakah seseorang itu adalah ‘petani’ atau ‘nelayan’ karena dalam kesehariannya penduduk hampir setiap hari mencari hasil laut meski mereka juga memiliki kebun cengkeh, cokelat atau kelapa. Atau, mereka tampak selalu mengurus kebunnya, namun juga memiliki bagang, atau mencari hasil laut pada waktu-waktu tertentu.
Adat-istiadat (Ritual Adat)
Masyarakat Adat Kepulauan Togean dalam praktek pengelolaan SDA dan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, sebagaimana masyarakat adat lainya di Indonesia, memiliki hukum-hukum adat dan norma-norma adat yang mereka punyai sejak dulu secara turun temurun. Hanya saja akibat kebijakan Negara yang cenderung melakukan pembumihangusan terhadap hukum dan norma adat, sehingga hukum dan norma adat Masyarakat Adat di Kepulauan semakin hari semakin terkikis dan hampir punah. Kondisi ini juga diakibatkan oleh kawasan Kepulauan Togean yang open access, maka pengaruh globalisasi sangat cepat mempengaruhi norma-norma dan hukum adat masyarakat adat Kepulauan Togean.
Walau demikian, masyarakat Adat Kepulauan Togean saat ini, masih memiliki hukum dan norma adat, sebagai contoh kebiasaan masyarakat Adat Bajo dalam proses penangkapan ikan menerapkan sistem Bapongka. Bapongka adalah sistem gilir balik dalam proses penangkapan ikan dengan cara memperhatikan cuaca dan tanda-tanda alam lainnya. Sistem Bapongka ini sangat arif lingkungan yaitu dengan tidak melakukan penangkapan ikan-ikan kecil yang tak layak untuk dikonsumsi.
Dalam proses Bapongka masyarakat Adat Bajo pantang membuang kopi di laut, karena menurut kepercayaan masyarakat Adat Bajo bahwa laut bagi mereka adalah sumber kehidupan dan penghidupan Masyarakat Adat Bajo. Bahkan masyarakat adat Bajo mengibaratkan laut adalah tikar, karang adalah bantal dan ombak ibarat selimut bagi mereka.
Kearifan Adat lainnya yang dimiliki oleh masyarakat Adat Kepulauan Togean khususnya masyarakat Adat Bobongko dan Togean, mereka masih memiliki kepercayaan terhadap hutan-hutan yang dianggap keramat dan tidak boleh dirusak untuk kebutuhan apapun, misalnya hutan yang ada di wilayah Gunung Benteng, Pinaat dan Kayome.
Sebagai salah satu contoh lagi kebiasaan warga didesa baulu ketika musim kemarau melanda, masyarakat adat akan melalukan sesajen pelepasan ayam putih dibawah kaki gunung benteng dengan harapan agar leluhur terdahulu bisa mendatangkan hujan.